Israel Serang Rafah, 12 Tim Relawan MER-C Terperangkap di Gaza

JAKARTA — Tanpa mengindahkan seruan banyak negara untuk tidak melancarkan serangan ke Rafah, kota di mana sekitar 1,5 juta pengungsi berlindung, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Senin (6/5) memerintahkan serangan darat ke Rafah. Alasan utamanya adalah karena Rafah merupakan benteng terakhir kelompok militan Hamas dan tekanan untuk membebaskan sisa sandera yang diduga kuat ditahan di sana. Selang satu hari setelah dimulainya operasi itu, Pasukan Pertahanan Israel IDF merebut perbatasan Rafah, pintu masuk utama bantuan kemanusiaan ke Gaza. Menanggapi perkembangan tersebut, Ketua Presidium Medical Emergency Rescue Committee (MER-C) Sarbini Abdul Murad, dalam jumpa pers di kantornya di Jakarta, Rabu (8/5), mengatakan hingga saat ini ada 12 relawan MER-C di Rafah, termasuk dua relawan yang memang sudah lama tinggal di Rumah Sakit Indonesia di utara Gaza. Awalnya, lanjutnya, terdapat dua relawan MER-C di Rafah setelah mereka dievakuasi dari wilayah utara Gaza. Jumlahnya bertambah sepuluh orang anggota EMT (Tim Medis Darurat) MER-C dari berbagai elemen di Indonesia di Rafah setelah bergabung dengan rombongan Badan Kesehatan Dunia WHO. Tim relawan etape ketiga ini, ujar Sarbini, sedianya keluar dari Gaza Senin lalu, rotasi dengan tim keempat yang sudah bersiap masuk ke Gaza. Namun serangan darat Israel ke Rafah membatalkan rencana ini. WHO juga telah menginstruksikan untuk tidak melakukan pergantian tim selagi Israel melancarkan operasi militer di Rafah. "Kita berharap mereka bisa dievakuasi aau bisa keluar dari Gaza hingga ada pergantian tim yang hendak masuk dari Kairo ke Gaza. Kita akan terus mengupayakan hal-hal yang serius untuk terus membantu warga Gaza yang pada hari ini memang sangat membutuhkan bantuan, perhatian dari kita semuanya," katanya.   Sarbini mengakui posisi yang diambil MER-C untuk mempertahankan relawannya di Gaza merupakan posisi yang sulit karena banyak pihak meminta untuk segera mengevakuasi semua relawan, tetapi di sisi lain MER-C ingin membantu WHO memastikan adanya tim medis di Gaza secara bergantian. Relawan MER-C yang saat ini tinggal di Rafah terdiri dari dokter bedah dan perawat. Jika situasi tidak aman, atau bahkan terus memburuk, tim etape ketiga ini akan tetap berada di kota itu dan membantu merawat warga yang cedera di rumah sakit. Koordinasi Erat dengan WHO Dalam kesempatan yang sama petugas penghubung EMT MER-C Marissa Noriti mengatakan pihaknya memang berkoordinasi dengan WHO dalam mengirim relawan medis ke Gaza. Tim relawan MER-C etape pertama masuk ke Gaza bersama rombongan WHO pada 18 Maret, dan terus rotasi hingga etape ketiga yang saat ini bertahan di Rafah, sementara etape keempat masih tertunda masuk ke wilayah konflik itu dan masih berada di Mesir. Sejauh ini MER-C telah memberangkatkan 31 relawan meliputi dokter spesialis, dokter umum, perawat, dan bidan. "Berdasarkan informasi yang kami dapat dari EMTC di Gaza, untuk saat tidak aman untuk bekerja di rumah sakit An-Najar dan Emirati. Akhirnya kami tidak menugaskan tim kami di sana," ujarnya.   Tim relawan MER-C saat ini ditugaskan di Klinik Tal Al Sultan Primary Health Care Center. Marissa mengungkapkan tim relawan MER-C tinggal di sebuah rumah aman dan dipasangi bendera sebagai identitas. Koordinat lokasi rumah aman bagi relawan MER-C juga diberikan kepada WHO yang berkoordinasi dengan pihak-pihak yang bertikai agar tidak menjadikan lokasi itu sebagai sasaran serangan. Pengamat: Israel Seakan Punya Impunitas Hukum Diwawancarai melalui telpon, pengamat hubungan internasional di Universitas Islam Indonesia Hasbi Aswar menyayangkan serangan Israel yang terjadi hanya beberapa jam setelah Hamas menyepakati proposal kesepakatan gencatan senjata yang diusulkan Qatar dan Mesir. Jelas Israel tidak ingin Hamas kembali berkuasa di Gaza, dan lebih memilih kelompok seperti Fatah di Tepi Barat, yang dinilai dapat lebih bekerjasama dengan pemerintahan Netanyahu. "Masalahnya sampai sekarang ini Hamas belum ditaklukkan. Itu yang membuat Israel tetap membabi buta menggempur Gaza. Karena ancaman Hamas terhadap Israel ini ancaman kedaulatan. Kalau Hamas tidak dilumpuhkan, bagi Israel hanya menunggu infiltrasi akan terjadi lagi," katanya.   Ketidakmampuan negara-negara lain dan badan internasional setingkat PBB untuk menekan Israel membuat negara itu seakan memiliki impunitas hukum dan terus melancarkan perang terhadap Palestina, apapun alasannya. Menurut Hasbi yang justu efektif menekan Israel adalah serangan di jalur pelayanan yang menuju ke Israel sebagaimana dilakukan kelompok Houthi di Yaman, dan demonstrasi mahasiswa di kampus-kampus terkemuka Amerika. Melihat situasi saat ini Hasbi semakin pesimis dengan solusi dua negara yang selama ini digadang-gadang untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina. "Sedemikian rupa Gaza dikontrol dari darat, laut, dan udara tapi tetap bisa membuat kekuatan militer Hamas menghantam Israel; apalagi jika diberikan kemerdekaan. (Solusi dua negara) itu berat (diwujudkan), hampir mustahil. Kecuali Israel dapat jaminan bahwa yang memimpin Palestina itu yang bukan anti-Israel dan anti-Amerika," tuturnya. AS Amati “Operasi Terbatas” Israel di Rafah Amerika mengamati dengan seksama operasi Israel di Rafah, karena sesuai informasi dari mitra-mitra di IDF, diyakini bahwa operasi ini bersifat terbatas. Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza, wilayah yang dikelola Hamas, mengatakan hingga hari Rabu (8/5) lebih dari 34.700 warga Palestina tewas dalam serangkaian serangan darat dan udara Israel ke Gaza. Sebagian besar korban tewas itu adalah perempuan dan anak-anak. Serangan Israel ini merupakan pembalasan terhadap serangan Hamas ke bagian selatan Israel yang menewaskan 1.200 orang. Hamas juga menculik sekitar 250 orang, yang sebagian besar telah dibebaskan dalam kesepakatan gencatan senjata pertama November lalu. [fw/em]